Senin, 05 September 2016

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN TEKNOLOGI KEJURUAN DAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI SULAWESI SELATAN


BAB I

PENDAHULUAN



Dewasa ini banyak lontaran kritik terhadap sistem pendidikan yang pada dasarnya mengatakan bahwa perluasan kesempatan belajar cenderung telah menyebabkan bertambahnya pengangguran tenaga terdidik dari pada bertambahnya tenaga produktif yang sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja. Kritik ini tentu saja beralasan karena data sensus penduduk memperhatikan kecenderungan persentase jumlah pengganggur lulusan sekolah menengah kejuruan lebih besar dibandingkan dengan sekolah menengah umum atau jenjang pendidikan yang lebih rendah.
Berdasarkan keadaan tersebut, penjelasan secara konseptual terhadap masalah-masalah pengangguran tenaga terdidik yang dewasa ini banyak disoroti oleh masyarakat, sangat diperlukan. Penjelasan yang bersifat konseptual diharapkan mampu mendudukkan permasalahan pada proporsi yang sebenarnya, khususnya tentang fungsi dan kedudukan sistem pendidikan dalam kaitannya dengan masalah ketenagakerjaan. Berangkat dari asumsi bahwa bertambahnya tingkat pengangguran disebabkan karena kegagalan sistem pendidikan.
Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu  provinsi yang sangat strategis, yaitu sebagai centre point of Indonesia dan sebagai pintu gerbang Kawasan Indonesia Timur (KTI). Oleh karena itu Provinsi Sulawesi Selatan harus mempersiapkan diri menghadapi peran strategis itu di masa yang akan datang. Salah satu persiapan tersebut adalah persiapan tenaga kerja profesional dan terdidik untuk mengantisipasi kebutuhan tenaga kerja di masa yang akan datang.
Salah satu institusi/lembaga yang berperan dalam hal tersebut, adalah institusi pendidikan, khususnya Sekolah Menengah Kejuruan. Perlu kajian yang mendalam mengenai pendidikan kejuruan untuk menentukan road map (peta jalan) pendidikan kejuruan. Beberapa permasalahan pendidikan menengah kejuruan di Indonesia adalah relevansi, distribusi, kualitas dan kuantitas. Proyeksi pendidikan menengah kejuruan di Sulawesi Selatan didasarkan pada perkembangan industri, road map Direktorat Pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (PSMK). Road map Dit. PSMK Kemendikbud mengisyaratkan bahwa pertumbuhan SMK sebesar 3 -4 % pertahun, sehingga pada tahun 2014 diharapkan jumlah SMK secara nasional peningkatannnya mencapai 67 %. Kajian ini diperlukan untuk menyelaraskan program nasional melalui Dit.PSMK Kemendikbud dengan road map pendidikan kejuruan di Sulawesi Selatan.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003. Tujuan pendidikan kejuruan secara umum adalah untuk mempersiapkan peserta didik memasuki dunia kerja dengan dibekali kompetensi yang sesuai dengan bidangnya masing-masing. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 juga menjelaskan bahwa pendidikan menengah kejuruan bertujuan untuk memasuki lapangan kerja dan mengembangkan sikap profesionalisme serta Kebijakan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang dikembangkan untuk meningkatkan relevansi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) adalah Link and Match, yaitu relevansi dengan kebutuhan pembangunan umumnya dan kebutuhan dunia kerja, dunia usaha serta dunia industri khususnya.
Manfaat yang dapat dipetik dari pelaksanaan Link and Match sangat besar. Karena itu, diharapkan semua stake holders dunia pendidikan bersedia membuka mata dan diri dan mulai bersungguh-sungguh menjalankannya. SMK harus lapang dada menerima bidang keahlian (kompentensi) yang dibutuhkan dunia kerja sebagai program keahlian. Perusahaan juga harus membuka pintu selebar-lebarnya bagi yang ingin magang (bekerja) di perusahaan tersebut. Sedangkan Pemerintah harus serius dan tidak semata memandang program Link and Match (keterkaitan dan kesepadanan) sebagai proyek belaka. Ada beberapa pendekatan dalam Mewujudkan Link and Match  yaitu :
1.    Pendekatan Sosial
Pendekatan sosial merupakan pendekatan yang didasarkan atas keperluan masyarakat pada saat ini. Pendekatan ini menitik beratkan pada tujuan pendidikan dan pada pemerataan kesempatan dalam mendapatkan pendidikan (Husaini Usman, 2006: 56). Menurut A.W. Gurugen pendekatan sosial merupakan pendekatan tradisional bagi pembangunan pendidikan dengan menyediakan lembaga-lembaga dan fasilitas demi memenuhi tekanan tekanan untuk memasukan sekolah serta memungkinkan pemberian kesempatan kepada murid dan orang tua secara bebas (Djumberansyah Indar, 1995: 30). Sebagai contoh penerapan pendekatan ini adalah diterapkannya sistem ganda melalui kebijakan Link and Match. Selanjutnya dalam pendekatan ini ada beberapa kelemahan dalam pendekatan ini diantaranya adalah sebagai berikut:
a.    Pendekatan ini mengabaikan masalah alokasi dalam skala nasional, dan secara samar  tidak mempermasalahkan besarnya sumber daya pendidikan yang dibutuhkan karena beranggapan bahwa penggunaan sumberdaya pendidikan yang terbaik adalah untuk segenap rakyat Indonesia.
b.    Pendekatan ini mengabaikan kebutuhan ketenagakerjaan (man power planning) yang diperlukan dimasyarakat sehingga dapat menghasilkan lulusan yang sebenarnya kurang dibutuhkan masyarakat.
c.    Pendekatan ini cenderung hanya menjawab pemerataan pendidikan saja sehingga kuantitas lebih diutamakan dari pada kualitasnya (Syaefudin Sa’ud, 2006: 236).
2.    Pendekatan Ketenagakerjaan
            Di dalam pendekatan ketenagakerjaan ini kegiatan-kegiatan pendidikan diarahkan kepada usaha untuk memenuhi kebutuhan nasional akan tenaga kerja pada tahap permulaan pembangunan tentu saja memerlukan banyak tenaga kerja dari segala tingkatan dan dalam berbagai jenis keahlian. Dalam keadaan ini kebanyakan negara mengharapkan supaya pendidikan mempersiapkan dan menghasilkan tenaga kerja yang terampil untuk pembangunan, baik dalam sektor pertanian, perdagangan, industri dan sebagainya (Jusuf Enoch, 1992: 90). Untuk itu perencana pendidikan harus mencoba membuat perkiraan jumlah dan kualitas tenaga kerja dibutuhkan oleh setiap kegiatan pembangunan nasional.
            Dalam teorinya pendekatan ini lebih mengutamakan keterkaitan lulusan sistem pendidikan dengan tuntutan akan kebutuhan tenaga kerja, didalam pendekatan ini juga mempunyai kelemahan, dimana ada tiga kelemahan yang paling utama, yaitu;
a.       Mempunyai peranan yang terbatas dalam perencanaan pendidikan, karena pendekatan ini mengabaikan keberadaaan sekolah umum karena hanya akan menghasilkan pengangguran saja, pendekatan ini lebih mengutamakan sekolah menengah kejuruan untuk memenuhi kebutuhan kerja.
b.      Menggunakan klasifikasi rasio permintaan dan persediaan
c.       Tujuan dari pada pendekatan ini hanyalah untuk memenuhan kebutuhan tenaga kerja, disisi lain tuntutan dunia kerja berubah ubah sesuai dengan cepatnya perubahan zaman (Husaini Usman, 2006: 59).
3.    Pendidikan dan Ketenagakerjaan
Apakah pendidikan formal merupakan penentu dalam menunjang pertumbuhan ekonomi?  Apakah pengembangan sumber daya manusia selalu dilakukan melalui pendidikan formal?. Titik singgung antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi adalah produktivitas kerja, dengan asumsi bahwa semakin tinggi mutu pendidikan, semakin tinggi produktivitas kerja, semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat. Anggapan ini mengacu pada teori Human Capital. Teori Human Capital menerangkan bahwa pendidikan memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi karena pendidikan berperan di dalam meningkatkan produktivitas kerja.
Teori ini merasa yakin bahwa pertumbuhan suatu masyarakat harus dimulai dari prodiktivitas individu. Jika setiap individu memiliki penghasilan yang tinggi karena pendidikannya juga tinggi, pertumbuhan msyarakat dapat ditunjang karenanya. Teori Human Capital ini menganggap bahwa pendidikan formal sebagai suatu investasi, baik individu maupun bagi masyarakat. Dari teori ini timbul beberapa model untuk mengukur keberhasilan pendidikan bagi pertumbuhan ekonomi, misalnya dengan menggunakan teknik cost benefit analysis, model pendidikan tenaga kerja dan lain sebagainya.
Pendidikan formal hanya dianggap sebagai alat untuk mempertahankan status quo dari para pemenang status sosial yang lebih tinggi. Menurut teori ini perolehan pendidikan formal tidak lebih dari suatu lambang status (misalnya melalui perolehan ”ijazah” bukan karena produktivitas) yang mempengaruhi tingginya penghasilan.
Dua teori yang dikemukan diatas, masing-masing memiliki kaitan erat dengan fungsi sistem pendidikan yang diungkap oleh Sayuti Hasibuan. Menurutnya, fungsi sistem pendidikan dalam kaitannya dengan ketenagakerjaan meliputi dua dimensi penting, yaitu: 1) dimensi kuantitatif yang meliputi fungsi sistem pendidikan dalam pemasok tenaga kerja terdidik dan terampil sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja yang tersedia, 2) dimensi kualitatif yang menyangkut fungsinya sebagai penghasil tenaga terdidik dan terlatih yang akan menjadi sumber penggerak pembangunan atau sebagai driving force (Sayuti Hasibuan, 1987). .

Angka partisipasi dan bertambahnya lulusan Sekolah menengah kejuruan (SMK)  belum dengan sendirinya meningkatkan produktivitas kerja dengan melihat adanya tamatan SMK  yang  menganggur  semakin meningkat. Data pendidikan nasional kita menunjukkan kecenderungan sebagai berikut: 1) semakin tinggi jenjang pendidikan semakin besar kemungkinan terjadinya pengangguran, 2) pada tingkat pendidikan SLTP kebawah cenderung terdapat kekurangan tenaga kerja terdidik,      3) tamatan SMK/SMA  cenderung untuk menganggur dan jumlahnya semakin besar, 4) surplus lulusan Perguruan Tinggi cenderung berlipat ganda dari tahun ke tahun.
Secara umum komposisi angkatan kerja menurut tingkat pendidikan selama tahun 2008-2010 masih didominasi oleh mereka yang berpendidikan SD meskipun menunjukkan tren yang terus menurun, yakni sebesar 52,35 persen pada tahun 2008, 51,04 persen pada tahun 2009, dan 49,52 persen pada tahun 2010. Sejalan dengan tingkat pendidikan SD, penurunan juga terjadi pada tingkat pendidikan SMTP. Pada tahun 2008 angkatan kerja dengan tingkat pendidikan ini sebesar 19,34 persen. Persentase ini terus menurun pada tahun 2009 dan 2010 yang masing-masing mencapai 19,25 persen dan 18,93 persen.
Komposisi angkatan kerja terkecil berada pada tingkat pendidikan diploma meskipun menunjukkan tren yang fluktuatif. Pada tahun 2008, angkatan kerja berpendidikan diploma sebesar 2,85 persen. Angka ini menurun pada tahun 2009 menjadi 2,78 persen, namun meningkat pada tahun 2010 menjadi 2,95 persen. Sebaliknya, angkatan kerja yang memiliki tingkat pendidikan SMK/SMA Umum dan Kejuruan serta Universitas memperlihatkan tren yang terus meningkat. Pada tahun 2008 angkatan kerja berpendidikan SMTA Umum sebesar 14,45 persen dan terus meningkat di tahun 2009 dan 2010 menjadi 15,18 persen dan 15,29 persen. Begitu pula halnya dengan SMTA Kejuruan. Pada tahun 2008 sebesar 7,06 persen, tahun 2009 sebesar 7,50 persen, dan tahun 2010 sebesar 8,35 persen. Selain itu, angkatan kerja berpendidikan Universitas juga meningkat. Dari sekitar 3,94 persen pada tahun 2008, menjadi 4,26 persen dan 4,96 persen pada tahun 2009 dan 2010.
Sejalan dengan diterapkan sistem pendidikan melalui program pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun serta semakin mudahnya akses pendidikan, maka jumlah angkatan kerja berpendidikan SD dan SMTP dari tahun ke tahun diprediksikan akan terus menurun. Sebaliknya angkatan kerja berpendidikan SMK/SMA ke atas diharapkan akan terus mengalami peningkatan, sehingga struktur angkatan kerja beberapa tahun ke depan diperkirakan akan mengalami perubahan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Grafik 1. Proporsi Angkatan Kerja Menurut
Tingkat Pendidikan 2008-2010 (%)
 




BAB II

KONDISI RIIL PENYELENGGARAAN PTK


Sumber. Sakernas, BPS (2010)

BAB II

KONDISI RIIL PENYELENGGARAAN PTK

TENTANG KETENAGAKERJAAN



Kondisi  riil penyelenggaraan Pendidikan Teknologi Kejuruan (PTK)  bidang  keahlian di  SMK untuk memenuhikebutuhan industri akan tenaga kerja di suatu daerah provinsi atau kabupaten/kota khususnya Provinsi Sulawesi Selatan memperoleh gambaran penyerapan tenaga kerja lulusan SMK untuk industri dapat diidentifikasi spektrum pasar kerja sebagai rujukan dalam penetapan program keahlian di SMK. Bagi pemerintah pusat atau depdiknas adalah kebijakan pendidikan yang berkaitan dengan pengembangan jumlah SMK dan bidang keahlian yang diperlukan untuk menyongsong akan kebutuhan tenaga kerja yang akan datang mampu memberikan gambaran tentang identifikasi lapangan kerja, jumlah tenaga kerja, bidang keahlian yang perlu disiapkan, kualifikasi tenaga kerja oleh pemerintah daerah  baik provinsi maupun  kabupaten/kota  di  seluruh   Indonesia.
Sekolah kejuruan di Sulawesi Selatan juga tidak terlepas dari berbagai macam permasalahan. Permasalahan ini timbul diakibatkan oleh tidak sinkronnya antara harapan dan kenyataan, terjadi gabungan antara existing condition dengan expected condition. Data statistik, menunjukkan banyak siswa sekolah menengah kejuruan (SMK) pada tahun 2006 dan 2007 sebesar 63.165 orang dan menjadi 68.756 dan78.168 pada tahun setelahnya. Tentunya alumni sebanyak ini harapannya akan terserap di dunia kerja. Akan tetapi menurut data secara nasional, (Kohort siswa SMK 2010-2014, DIT.PSMK) menunjukkan bahwa serapan tenaga yang berasal dari sekolah kejuruan hanya 50% pada tahun 2010, meskipun pada tahun-tahun berikutnya diharapkan meningkat. Kondisi serapan tenaga kerja oleh industri di Sulawesi Selatan tidak jauh berbeda dengan kondisi rata-rata nasional, bahkan kemungkinan di bawahnya. Hal ini berarti bahwa hampir setengah dari lulusan sekolah kejuruan tidak mendapat kerja. Walaupun ada yang lanjut studi, akan tetapi jumlah ini tidak signifikan jumlahnya.
Ketimpangan antara jumlah tenaga kerja dan lulusan pendidikan kejuruan di Sulawesi Selatan juga dapat dilihat pada data BPS (2010). Jumlah tenaga kerja yang terserap pada industri pada tahun 2006 sebesar 40.775 orang dan hanya meningkat sedikit pada tahun berikutnya yaitu 46.069 orang, tetapi turun pada tahun 2008 menjadi 44.440 orang. Dari data ini, beberapa asumsi yang dapat ditarik antara lain; (1) data BPS tersebut tidak merinci tingkat pendidikan tenaga kerja tersebut. Jika diasumsikan bahwa tingkat pendidikan tenaga kerja tersebut berasal perguruan tinggi, diploma, SMK dan SMA, maka dapat dipastikan bahwa tenaga kerja yang berasal dari pendidikan kejuruan kurang dari jumlah tersebut.
Secara umum kompetensi yang dimiliki SMK sudah sesuai dengan kompetensi yang diharapkan dunia kerja. Adanya kesenjangan kompetensi yang dimiliki lulusan SMK dengan yang dibutuhkan Dunia Usaha/Dunia Industri dapat diatasi dengan   berbagai   upaya   misalnya   industri   memberikan   kontribusi   riil   bagi pengembangan   SMK  melalui   pemberian   kesempatan   magang/PKL;   sharing fasilitas; sharing pendanaan. Contoh
1.             Lulusan SMK bidang keahlian Pertanian memberikan sumbangan cukup signifikan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), terdapat indikasi bahwa setiap penambahan jumlah siswa SMK total sebesar 1 persen akan meningkatkan PDRB sebesar 0,45 persen.
2.             Lulusan   SMK   bidang   keahlian   Teknologi   memberikan   sumbangan   cukup signifikan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), terdapat indikasi bahwa setiap penambahan jumlah siswa SMK total sebesar 1   persen akan meningkatkan PDRB sebesar 0,058 persen.
Masih terdapat penambahan Program Keahlian yang dibutuhkan masyarakat industri baik industri pengolahan atau lainnya yaitu program keahlian peningkatan daya listrik kapasitas medium teknik sensor berbagai bidang industri, teknik telemetri   untuk   menjembatani   tidak   adanya   sumber   daya   permanen   dan kemudahan pantauan, bodi otomotif, tebu rakyat, tebu industri, budidaya ikan, bawal reklamasi, bekas lahan tambang di SMK masih relevan dibina dan dikembangan.  Jika dikaji lebih lanjut maka permasalahan pendidikan kejuruan digambarkan sebagai berikut:
1.       Relevansi
Relevansi adalah sinkronisasi atau kecocokan antara kempetensi yang dibutuhkan oleh dunia kerja dengan kompetensi yang dihasilkan oleh dunia pendidikan baik dari segi bidang studi maupun kurikulum yang diterapkan. Data Dit. PSMK menunjukkan jumlah siswa SMK pada tahun 2006/2007, 2007/2008, dan 2008/2009 berturut-turut sebesar 63.165 orang, 68.756 orang, dan 78.168 orang. Meskipun data tersebut tidak merinci jenis SMK tersebut (teknologi atau bisnis) dan bidang keahlian, hampir bisa dipastikan bahwa yang banyak adalah bidang studi klasik, BELMO (Bangunan, Elektronika, Listrik, Mesin dan Otomotif), meskipun saat ini telah berkembang pesat program Teknologi Informasi dan Komunikasi. Adapun bidang studi lain relative tidak terlalu banyak. Jika tidak ada inovasi, maka bidang studi ini akan mengalami kejenuhan.
Selain itu, jenis industri yang tingkat penyerapan tenaga kerja paling banyak adalah jenis industri makanan dan minuman, yaitu sebanyak 21.992 orang pada tahun 2007, menyusul industri furniture dan industri pengolahan lainnya sebanyak 1.187 orang, industri barang galian bukan logam sebesar 9.708 orang, dan industri kayu, barang barang dari kayu (bukan meubel) sebesar 8.023 orang. Sedangkan industri-industri lainnya serapan tenaga kerjanya di bawah 1000 orang. Jika melihat dari sisi penyerapan dunia kerja nampak jelas bahwa program studi yang dikembangkan pada sekolah kejuruan belum mendukung arah berkembangnya industri. Seharusnya pengembangan sekolah kejuruan juga diarahkan pada sektor dimana industri tersebut berkembang pesat. Jika dianalisis lebih jauh, industri/perusahaan yang berkembang di Sulawesi Selatan lebih banyak pada industri pengolahan hasil bumi/sumber daya alam, belum beranjak pada industri teknologi tinggi (data BPS, 2010). Industri teknologi tinggi seperti dalam daftar klasifikasi industri belum tersentuh oleh data BPS dan penyerapan tenaga kerja pada sektor tersebut tidak banyak.
Sedangkan pengembangan sekolah kejuruan justru lebih mengarah pada program studi teknologi tinggi. Para pendiri SMK lebih cenderung mengembangan program studi yang sudah dikenal di masyarakat dibandingkan mengembangkan sekolah kejuruan yang dibutuhkan oleh industri lokal. Nampak jelas bahwa pendirian sekolah kejuruan tidak melalui analisis pasar yang memadai.
2.      Distribusi
Keberadaan sekolah kejuruan masih terkonsentrasi pada kota-kota besar. Jika dilihat dari skala nasional maka konsentrasi sekolah kejuruan masih tertinggi di Pulau Jawa dan skala Provinsi Sulawesi Selatan masih didominasi oleh Kota Makassar (data, BPS 2010) sebanyak 81 SMK, menyusul kabupaten Toraja Utara sebanyak 20 dan Kabupaten Tana Toraja sebanyak 18 SMK. Sedangkan daerah lainnya pada umumnya hanya di bawah 10 SMK, bahkan Kabupaten Luwu Timur hanya 2 buah SMK padahal kabupaten ini termasuk kabupaten pemekaran yang berlembang pesat karena ditunjang oleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang memadai.
Jumlah perusahaan yang terdata oleh BPS di kabupaten/kota (kecuali Kota Makassar), yang terbanyak adalah di Kabupaten Wajo dengan 10.494 perusahaan, kabupaten Selayar sebanyak 7.091 perusahaan, kabupaten Bantaeng, Gowa dan Sidrap sekitar 3.000 perusahaan. Hal ini jelas tidak sesuai dengan jumlah SMK yang ada kabupaten tersebut. Sebagai contoh, kabupaten Wajo hanya memiliki 7 buah sekolah SMK dengan jumlah siswa hanya 1.781 orang. Kabupaten Selayar hanya memiliki 4 SMK dengan jumlah siswa 1.131. Padahal kedua kabupaten tersebut menempati peringkat atas banyaknya perusahaan yang beroperasi.
3.      Kualitas
Kualitas alumni sekolah kejuruan diukur dengan beberapa indikator, antara lain: beberapa lama mereka menunggu untuk mendapatkan pekerjaan pertama dan atau pekerjaan relevan, seberapa tinggi penghargaan yang diberikan oleh pengguna dalam bentuk gaji pertama dan sebagainya. Kualitas alumni pastinya dipengaruhi oleh berbagai macam faktor mulai dari kualitas input (siswa yang diterima), tenaga pengajar, proses pembelajaran dan proses asimilasi dengan pihak industri (praktek kerja industri)
Peningkatan kompetensi profesional tenaga pengajar seharusnya juga menjadi hal yang penting. Secara berkala seharusnya dilakukan pelatihan-pelatihan workshop-workshop yang bertujuan untuk meng-update pengetahuan para tenaga pengajar agar mampu memberi pengetahuan terkini pada anak didik.
4.      Kuantitas
Kelihatanya dari segi kuantitas terlihat bahwa jumlah sekolah kejuruan sangat memadai dalam menyediakan tenaga kerja. Akan tetapi program studi/kompetensi yang diharapkan menopang perkembangan industri didaerah Sulawesi Selatan masih rendah. Sesuai dengan data BPS (2010) terlihat bahwa kebutuhan akan tenaga kerja masih sangat banyak. Ditambah lagi jika diasumsikan bahwa pertumbuhan industri pada masa masa akan datang makin pesat. Banyak jenis industri yang belum terdata oleh BPS yang kemungkinan besar akan berkembang di Sulawesi Selatan seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat. Tentunya hal ini akan membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Seperti diketahui bahwa pendidikan kejuruan merupakan institusi utama penyedia tenaga kerja yang handal.
Tuntutan pengelolaan pada pendidikan kejuruan harus sesuai dengan kebijakan link and match, yaitu perubahan dari pola lama yang cenderung berbentuk pendidikan demi pendidikan ke suatu yang lebih terang, jelas dan konkrit menjadi pendidikan kejuruan sebagai program pengembangan sumber daya manusia. Dimensi pembaharuan yang diturunkan dari kebijakan link and match, yaitu perubahan dari pendekatan Supply Driven ke Demand Driven. Dengan deman driven ini mengharapkan dunia usaha dan dunia industri atau dunia kerja lebih berperan di dalam menentukan, mendorong dan menggerakkan pendidikan kejuruan, karena mereka adalah pihak yang lebih berkepentingan dari sudut kebutuhan tenaga kerja. Dalam pelaksanaannya, dunia kerja ikut berperan serta karena proses pendidikan itu sendiri lebih dominan dalam menentukan kualitas tamatannya, serta dalam evaluasi hasil pendidikan itupun dunia kerja ikut menentukan supaya hasil pendidikan kejuruan itu terjamin dan terukur dengan ukuran dunia kerja.


BAB III

PROYEKSI KEBUTUHAN PTK DI PROVINSI SUL SEL



A.      Proyeksi kebutuhan sekolah, siswa dan guru PTK dan

eksistensi SMK di Provinsi Sulawesi Selatan hingga tahun 2016.


Salah satu rencana strategis Departemen Pendidikan Nasional adalah perluasan dan pemerataan akses pendidikan, khususnya perluasan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) untuk mencapai komposisi ideal jumlah SMK dengan SMA sebanyak 70:30 persen.
Kebijakan Depdiknas untuk memperbanyak SMK sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategis Depdiknas tahun 2005-2009 tersebut, menurut Sutrisno (2008) sangat strategis dan tepat karena beberapa alasan berikut. Pertama komposisi tenaga kerja Indonesia mayoritas unskilled workers (pekerja yang tidak punya keterampilan atau kompetensi di bidangnya). Menurut data Badan Statistik Nasional (BPS) tahun 2010 terdapat 81,1 juta tenaga kerja Indonesia diisi kelompok unskilled workers ini yang mayoritas lulusan SMA. Sedangkan kelompok di atasnya diisi skill workers (pekerja dengan skill sebesar 20,4 juta) serta komposisi teratas merupakan pekerja expert (ahli) dengan 4,8 juta orang). Ditengarai lulusan SMA selama ini banyak yang mencari pekerjaan, karena hanya 30 persen saja yang mampu melanjutkan studi di perguruan tinggi, sementara yang 70 persen harus bekerja meskipun tanpa bekal keterampilan memadai. Lulusan SMA sebetulnya memang diproyeksikan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Kedua, SMK mampu menyiapkan peserta didik yang kreatif, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memiliki kompetensi yang sesuai dengan tuntutan dunia kerja. Ketiga, survey menunjukkan bahwa di kota-kota yang memiliki populasi SMK lebih tinggi dari SMA, daerah tersebut memiliki pertumbuhan ekonomi dan produk domestik regional bruto yang lebih tinggi.
Begitu besar harapan pemerintah terhadap SMK untuk dapat menanggulangi pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun di sisi lain kinerja SMK yang telah ada dewasa ini masih belum optimal.  Belum optimalnya kinerja SMK ini menurut Suyanto (2007) ditandai oleh pencapaian indikator keberhasilan pendidikan di SMK yang belum optimal. Indikator-indikator keberhasilan yang dimaksud adalah sebagai berikut.
1.        Terserapnya tamatan di dunia kerja sesuai dengan kompetensi pada program keahliannya.
2.        Mampu mengembangkan diri dalam berwirausaha sehingga dapat menciptakan lapangan kerja baru.
3.        Mampu bersaing dalam melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Terkait dengan daya serap lulusan SMK oleh dunia usaha dan dunia industri, secara nasional menurut Samsudi (2008) pada tahun 2008 lulusan SMK yang bisa langsung memasuki dunia kerja sekitar 80-85 %, sedangkan selama ini yang terserap baru 61 %.

Belum optimalnya kinerja SMK tentu tidak dapat dibiarkan, dan perlu dicarikan solusinya. Sebab kondisi ini akan mengakibatkan lulusan yang kurang mampu menghadapi tuntutan zaman yang sering disoroti oleh masyarakat pemakai lulusan tersebut. Perkembangan ilmu dan teknologi yang sangat cepat akan membuat keadaan ini lebih parah jika tidak diantisipasi dengan cepat dan tepat, karena akan memperlebar jurang pemisah antara yang seharusnya diketahui dan yang diketahuinya. Implikasinya akan terjadi kesenjangan antara supply dan demand tenaga kerja yang memberi dampak pada pengangguran.
Pentingnya upaya peningkatan mutu kinerja Sekolah Menengah Kejuruan tidak terlepas dari  fungsi dan kedudukannya yang strategis. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam penjelasan pasal 15 menyebutkan bahwa pendidikan kejuruan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu.  Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah, Pasal 1 ayat 3 menyebutkan pendidikan kejuruan adalah pendidikan pada jenjang menengah yang mengutamakan pengembangan kemampuan siswa untuk melaksanakan jenis pekerjaan tertentu. Snedden (dalam Fakhri, 2007) menjelaskan pendidikan kejuruan adalah pendidikan yang diarahkan untuk mempelajari bidang khusus, agar para lulusan memiliki keahlian tertentu seperti bisnis, pabrikasi, pertanian, kerumahtanggaan, otomotif telekomunikasi, listrik, bangunan dan sebagainya.
Sekolah Menengah Kejuruan, tulis Sutrisno (dalam Wibowo, 2009), mampu menyiapkan peserta didik yang kreatif, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memiliki kompetensi yang sesuai dengan tuntutan dunia kerja. Pendek kata, SMK tidak hanya membentuk kemampuan kognitif, lebih dari itu membentuk mentalitas peserta didik yang terintegralisasikan dengan baik kemampuan praktis, teoritis, maupun kompilasi keduanya. Dengan demikian Sekolah Menengah Kejuruan dapat menjembatani problematika dunia kerja tingkat menengah di Indonesia.
Tabel 2.1 Hasil Pendataan SMK tahun 2013
NO
PROVINSI
JML SMK
DATA MASUK
%
17
SULAWESI UTARA
97
86
88.66%
18
SULAWESI TENGAH
88
76
86.36%
19
SULAWESI SELATAN
388
388
100.00%
20
SULAWESI TENGGARA
71
71
100.00%
21
SULAWESI BARAT
91
91
100.00%

Tabel 2.2 Kebutuhan Sekolah, Siswa dan Guru PTK di Sulawesi Selatan

                                                                                                     

No
Aspek
Tahun
Kondisi
2010
Tahun  Proyeksi
2011
2012
2013
2014
2015
2016
1
2
3
Sekolah
Guru
Murid
297
7655
80250
312
8038
84263
328
8440
88476
344
8862
92900
361
9305
97545
379
97710
102422
398
10259
107543

Proyek kebutuhan sekolah, siswa dan tenaga pengajar dapat dilihat dari dua sudut pandang; (1) sudut pandang kebutuhan berdasarkan perkembangan industri dan, (2) sudut pandang pemenuhan Road Map Dit.PSMK yang pada tahun 2016  menargetkan persentase antara SMK dan SMU adalah 67 berbanding 33. Road Map Dit. PSMK Road map Dit.PSMK mengisyaratkan perkembangan sekolah kejuruan (SMK) sebesar 3 - 4 % pertahun sehingga pada tahun 2016 nanti akan mencapai 67%. Jika dari segi jumlah maka pertumbuhan SMK pertahun diprogramkan sebanyak 300-400 sekolah pertahun. Begitu pula dengan siswa dan guru. Setiap tahun di program adanya penambahan sekitar 500.000 sampai 600.000 orang siswa dan penambahan sekitar 20.000 guru SMK.

 

Tabel 2.3 Banyaknya Sekolah, Guru, dan Murid Sekolah Menengah Kejuruan   (SMK) Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan Tahun 2009/2010

Kabupaten/Kota
Sekolah
Guru
Murid
KepulauanSelayar
Bulukumba
Bantaeng
Jeneponto
Takalar
Gowa
Sinjai
Maros
Pangkep
Barru
Bone
Soppeng
Wajo
Sidrap
Pinrang
Enrekang
Luwu
TanaToraja
Luwu Utara
LuwuTimur
Toraja Utara
Makassar
Pare-Pare
Palopo
4
12
7
9
7
13
4
10
9
4
6
8
8
7
11
6
11
18
4
2
22
85
13
17
89
367
204
253
245
396
155
230
265
128
165
298
243
418
340
285
115
457
188
57
167
1486
501
703
1131
5435
2268
1705
2260
3678
1686
2378
1851
834
1706
2927
2034
2874
5271
1542
1099
5069
2662
900
7144
13947
3858
5991
Sulawesi Selatan

2009/2010

2008/2009

2007/2008


297

282

233


7655

7663

6568


80250

78168

68759
Sumber. Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Sulawesi Selatan/Badan Pusat Statistik Sulawesi Selatan.

B.  Asumsi Pertumbuhan  PTK
Data dari BPS Sulawesi Selatan tentang banyaknya sekolah, guru, dan murid sekolah menengah kejuruan (SMK) menurut kabupaten/kota di sulawesi selatan tahun 2009/2010 dan estimasi pertumbuhan sebesar 5 % pertahun maka estimasi banyaknya sekolah, guru, dan murid sekolah menengah kejuruan (smk) menurut kabupaten/kota di sulawesi selatan tahun 2009/2010 adalah sebagai berikut :
1.      Sekolah
Tahun 2011 à 297 x 5 % = 14,85à 297 + 14,85 = 312 (pembulatan)
Tahun 2012 à 312 x 5 % = 15,69à 312 + 15,69 = 328 (pembulatan)
Tahun 2013 à 328 x 5 % = 16,40à 328 + 16,40 = 344
Tahun 2014à 344 x 5 % = 17,20à 344 + 17,20 = 361
Tahun 2015à 361 x 5 % = 18,05à 361 + 18,05 = 379
Tahun 2016à 379 x 5 % = 18,95à 379 + 18,95 = 398

2.      Guru
Tahun 2011 à 7655 x 5 % = 382,7à7655 + 382,7 = 8038 (pembulatan)
Tahun 2012 à8038 x 5 % = 401,9à8038 + 401,9 = 8440 (pembulatan)
Tahun 2013 à8440 x 5 % = 422   à8440 + 422    = 8862
Tahun 2014à8862 x 5 % = 443,1à8862 + 443,1 = 9305
Tahun 2015 à 9305 x 5 % = 465,3à9305 + 465,3 = 9770
Tahun 2016 à 9770 x 5 % = 488,5à9770 + 488,5 = 10259

3.      Murid
Tahun 2011 à 80250 x 5 % = 4012,5à 80250 + 4012,5   = 84263 (pembulatan)
Tahun 2012 à 84263 x 5 % = 4213,15à 84263 + 4213,15 = 88476 (pembulatan)
Tahun 2013 à 88476 x 5 % = 4423,8à 88476  +4423,8   = 92900
Tahun 2014à92900x 5 % = 4645    à92900 + 4645      = 97545
Tahun 2015 à97545x 5 % = 4877,3à97545+ 4877,3   = 102422
Tahun 2016 à 102422 x 5 % = 5121,1à 102422+ 4645      = 107543















BAB IV

ANALISIS KESENJANGAN LAPANGAN KERJA DENGAN

JUMLAH LULUSAN SMK DI KABUPATEN  BONE



A.      Jumlah Lulusan SMK Kab. Bone Tahun 2012 dan 2013

Lembaga  pendidikan SMK dipersiapkan untuk mengantisipasi kebutuhan tenaga pelaksana di industri,  secara khusus sebagai tenaga terampil yang siap menerima instruksi untuk melakukan pekerjaan secara langsung. Tamatan SMK  saat ini adalah mereka yang masih butuh dilatih agar bisa bekerja secara terampil. Keahlian tidak bisa didapat dengan hanya membaca dan menghafal tetapi harus dengan mengerjakan dan merasakan sendiri langsung pada objek. Dengan cara itu calon tenaga kerja bisa menguasai cara mengatasi permasalahan dalam dunia kerja walaupun suatu masalah yang sama penyebabnya bisa berbeda.
Tenaga kerja dapat di identifikasi dalam penetapan program keahlian di SMK memiliki beberapa tujuan : (1) Memperoleh gambaran nyata tentang kompetensi lulusan SMK di suatu daerah provinsi atau kabupaten/kota, (2) Memperoleh gambaran yang riil bidang keahlian di SMK untuk memenuhi kebutuhan industri akan tenaga kerja di suatu daerah provinsi atau kabupaten/kota, (3) Memperoleh gambaran penyerapan tenaga kerja lulusan SMK untuk industri.
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Kabupaten Bone sementara baru mulai berkembang jika di bandingkan dengan SMA/MA yang sudah sangat banyak. Lambatnya pemerintah daerah terutama Dinas Pendidikan  memfasilitasi adanya SMK di kalangan masyarakat.  Sehingga dapat kita lihat jumlah penduduk pencari kerja tamatan SMK yang terdaftar di Depnaker  dari tahun ke tahun mengalami penurunan 1,64 % tahun 2012 sedangkan tahun 2013 sebanyak 0,77 %.  Ini sangat  jauh dari harapan dan tujuan SMK yang nantinya siap bekerja di  mana saja atau dapat menciptakan lapangan pekerjaan.  

Tabel 4.1.  Persentase jumlah penduduk pencari kerja

             menurut  pendidikan tertinggi tahun 2012


No
Pendidikan  tertinggi
Jenis Kelamin
Jumlah
Laki-Laki
Perempuan
1.
SD/MI
35,66
32,21
34,34
2.
SLTP/MTs
12,54
10,61
11,50
3.
SMU/MA
9,20
8,63
8,89
4.
SMK
1,76
1,54
1,64
5.
DIPLOMA I/II
0,72
0,73
0,72
6.
AKADEMI/III
0,45
1,14
0,82
7.
DIPLOMA IV/S1/22/23
3,00
4,09
3,59

 

 

Tabel 4.2.  Persentase jumlah penduduk pencari kerja

           menurut  pendidikan tertinggi tahun 2013


No
Pendidikan  tertinggi
Jenis Kelamin
Jumlah
Laki-Laki
Perempuan
1.
SD/MI
35,39
38,16
36,84
2.
SLTP/MTs
16,70
16,72
16,71
3.
SMU/MA
14,83
11,14
12,89
4.
SMK
0,81
0,74
0,77
5.
DIPLOMA I/II
0,33
0,88
0,62
6.
AKADEMI/III
0,50
0,77
0,61
7.
DIPLOMA IV/S1/22/23
3,81
4,23
4,03

 

    Sumber : Depnaker Kab. Bone tahun 2012 &  tahun 2013


Grafik 4.1.  Persentase jumlah penduduk pencari kerja

 Menurut pendidikan tertinggi tahun 2012 dan  2013


 









Sumber : Depnaker Kab. Bone tahun 2012 &  tahun 2013

B.   Analisis kesenjangan antara lapangan kerja dan jumlah lulusan SMK

Jumlah tenaga kerja di Sulawesi Selatan mencapai 1,07 juta orang atau 88,0 persen dari total angkatan kerja  pada tahun 2009 dan mengalami peningkatan bila dibandingkan  tahun 2005 yang  mencapai 71,10 persen. Proporsi tenaga kerja adalah  47,9 persen pada  sektor pertanian,  29,9   persen pada sektor perdagangan, rumah makan dan jasa akomodasi 29,91 persen, dan 12,3 persen pada sektor jasa kemasyarakatan, sosial dan perseorangan. Tenaga kerja tamatan sekolah menengah kejuruan merupakan tenaga kerja yang potensial untuk pengembangan industri, karena banyak jenis pekerjaan yang lebih sesuai dilakukan oleh tenaga kerja terutama sektor pertanian.
Berdasarkan tabel dan grafik di atas bahwa  tamatan SMA (17,89%) pada data Depnaker di Kabupaten Bone lebih besar dibandingkan dengan SMK (0,77%) pada tahun 2013, Dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Kondisi ini sangat memprihatinkan, Ditengarai lulusan SMA menjadi tenaga kerja walaupun skill yang didapat berbeda dengan jurusan SMK  sehingga  sebagian rencana strategis Departemen Pendidikan Nasional adalah perluasan dan pemerataan akses pendidikan. Khususnya perluasan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) untuk mencapai komposisi ideal jumlah SMK dengan SMA sebanyak 70:30 persen.













BAB  V

KESIMPULAN



Berdasarkan permasalahan implementasi Pendidikan Teknologi Kejuruan (PTK) dan ketenagakerjaan Provinsi Sulawesi Selatan diatas maka dapat disimpulkan dari hasil pembahasan ini, adalah:
1.    Departemen Pendidikan Nasional adalah perluasan dan pemerataan akses pendidikan. Khususnya perluasan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) untuk mencapai komposisi ideal jumlah SMK dengan SMA sebanyak 70:30 persen. Kebijakan Depdiknas untuk memperbanyak SMK sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategis Depdiknas tahun 2005-2009.
2.    Tamatan SMK  saat ini adalah mereka yang masih butuh dilatih agar bisa bekerja secara terampil. Keahlian tidak bisa didapat dengan hanya membaca dan menghafal tetapi harus dengan mengerjakan dan merasakan sendiri langsung pada objek. Dengan cara itu calon tenaga kerja bisa menguasai cara mengatasi permasalahan dalam dunia kerja walaupun suatu masalah yang sama penyebabnya bisa berbeda.
3.    Permasalahan  SMK tetap harus diatasi dengan distribusi, relevansi, kualitas dan kuantitas.
4.    SMK sebagai penyedia tenaga kerja terdidik dan terampil tidak hanya harus memenuhi kebutuhan secara kuantitatif, yang juga penting diperhatikan adalah jenis-jenis keahlian dan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri dan dunia usaha yang ada di daerah.
5.    Tenaga kerja dapat di identifikasi dalam penetapan program keahlian di SMK memiliki beberapa tujuan : (1) Memperoleh gambaran nyata tentang kompetensi lulusan SMK di suatu daerah propinsi atau kabupaten/kota, (2) Memperoleh gambaran yang riil bidang keahlian di SMK untuk memenuhi kebutuhan industri akan tenaga kerja di suatu daerah propinsi atau kabupaten/kota, (3) Memperoleh gambaran penyerapan tenaga kerja lulusan SMK untuk industi.  
6.    Konsep Link and Match (keterkaitan dan kesepadanan) merupakan konsep keterkaitan antara lembaga pendidikan denagn dunia kerja, atau denagn kata lain Link and Match ini adalah keterkaitan antara pemasok tenaga kerja dengan penggunanya. Dengan adanya keterkaitan ini maka pendidikan sebagai pemasok tenaga kerja dapat mengadakan hubungan-hubungan dengan dunia usaha/industri.
7.    SMK mampu menyiapkan peserta didik yang kreatif, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memiliki kompetensi yang sesuai dengan tuntutan dunia kerja.



DAFTAR PUSTAKA



Arikunto, Suharsimi. 2007. Dasar- dasar Eveluasi Pendidikan (edisi revisi). Jakarta: Bumi Aksara.

Dedy Suryadi, M.Pd. 2006. FPTK UPI, Pengembangan Sistem Dan Kurikulum Pendidikan Kejuruan, seminar nasional Peran stake holder dalam menghasilkan guru teknologi daan kejuruan yang professional. Bandung.

Cammings, Williams. 2010. Studi Pendidikan dan Tenaga Kerja pada Beberapa Industri Besar di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian BP3K

Enoch, Jusuf. 1992. Dasar-Dasar Perencanaan. Jakarta: Bumi Aksara
Hasibuan, Sayuti. 1987. Changing Manpower Requirements in The Face of Non-Oil Growth, Labor Force Growth and Fast Tehnological Change. Jakarta: Bappenas

Saharuddin. 2011. Jurnal Kajian Pendidikan Kejuruan di Sulaswesi Selatan. Volume 3, Nomor 1.

Limongan, Andreas.2008.  Masalah Pengangguran di Indonesia. Diakses Tanggal 07 Januari 2008

Nana Syaodih Sukmadinata. (2006). Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Pardjono. 2008. Urgensi Penerapan Konstruktivisme dalam Pendidikan Kejuruan

Peraturan Menteri, No 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi

----------------------, No 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kelulusan

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan

Sa’ud, Udin Syaefudin dan Abin Syamsuddin Makmun, 2006. Perencanaan Pendidikan Suatu Pendekatan Komprehensif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Cet II

Sindhunata (ed). 2000. Menggegas Paradigma Baru Pendidikan: Demokrasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi. Yogyakarta: Kanisius

Sudji Munadi (FT-UNY), transformasiteknologi Pada pendidikan kejuruan, Konvensi Nasional Ke IV APTEKINDO pada tanggal 3 – 6 Juni 2008

Sukamto. 2001. Perubahan karakteristik dunia kerja dan revitalisasi pembelajaran dalam kurikulum pendidikan kejuruan. Jakarta: Bumi Aksara

Usman, Husaini. 2006. Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen

Wardiman Djojonegoro. 1998. Pengembangan Sumber Daya Manusia: Melalui Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Jakarta: PT. Jayakarta Agung.



 

 

 

 



LAMPIRAN

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2012


PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 2012
TENTANG
RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN TAHUN 2010-2025
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a)    bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, kementerian/lembaga perlu menyusun dan menetapkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang;
b)    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian Tahun 2010-2025;
Mengingat :
1.      Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3682) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Ketransmigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5050);
2.      Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
3.      Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358);
4.      Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik In­donesia Nomor 4700);
5.      Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
6.      Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;
7.      Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;
8.      Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.12/MEN/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.07/MEN/IV/2011 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Di Lingkungan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 253) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.07/MEN/IV/2011 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Di Lingkungan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 227);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN TAHUN 2010-2025.
Pasal1
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian Tahun 2010-2025 yang selanjutnya disingkat RPJP, yang penjabarannya sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan Menteri ini.
Pasal 2
RPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 disusun sebagai arah dan acuan bagi:
a.     penyusunan Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
b.    penyusunan rencana/program pembangunan bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian;
c.     koordinasi perencanaan bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian dengan sektor;
d.    pengendalian kegiatan pembangunan lingkup Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Pasal3
RPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan Pasal 2 dipergunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan tugas bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian dalam kurun waktu 2010-2025 untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan pembangunan bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian.
Pasal4
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 10 Juli 2012
MENTERI



TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,
Drs. H. A. MUHAIMIN ISKANDAR,M.Si


Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Juli 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 706




















Load disqus comments

1 komentar: