BAB I
PENDAHULUAN
Dewasa ini banyak
lontaran kritik terhadap sistem pendidikan yang pada dasarnya mengatakan bahwa
perluasan kesempatan belajar cenderung telah menyebabkan bertambahnya
pengangguran tenaga terdidik dari pada bertambahnya tenaga produktif yang
sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja. Kritik ini tentu saja beralasan karena
data sensus penduduk memperhatikan kecenderungan persentase jumlah pengganggur
lulusan sekolah menengah
kejuruan lebih besar dibandingkan dengan sekolah menengah umum
atau jenjang pendidikan yang lebih rendah.
Berdasarkan keadaan
tersebut, penjelasan secara konseptual terhadap masalah-masalah pengangguran
tenaga terdidik yang dewasa ini banyak disoroti oleh masyarakat, sangat
diperlukan. Penjelasan yang bersifat konseptual diharapkan mampu mendudukkan
permasalahan pada proporsi yang sebenarnya, khususnya tentang fungsi dan
kedudukan sistem pendidikan dalam kaitannya dengan masalah ketenagakerjaan. Berangkat dari asumsi bahwa bertambahnya
tingkat pengangguran disebabkan karena kegagalan sistem pendidikan.
Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu provinsi yang sangat strategis, yaitu sebagai centre point of Indonesia dan sebagai pintu gerbang Kawasan Indonesia
Timur (KTI). Oleh karena itu Provinsi
Sulawesi Selatan harus mempersiapkan diri menghadapi peran strategis itu di masa yang akan datang. Salah satu
persiapan tersebut adalah persiapan tenaga kerja profesional dan terdidik untuk
mengantisipasi kebutuhan tenaga kerja di masa yang akan datang.
Salah satu institusi/lembaga yang berperan dalam hal tersebut, adalah institusi
pendidikan, khususnya Sekolah Menengah Kejuruan. Perlu kajian yang mendalam mengenai pendidikan kejuruan untuk menentukan road
map (peta jalan) pendidikan kejuruan. Beberapa permasalahan pendidikan menengah kejuruan di Indonesia adalah
relevansi, distribusi, kualitas
dan kuantitas. Proyeksi pendidikan menengah kejuruan di Sulawesi Selatan didasarkan pada perkembangan
industri, road map Direktorat Pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (PSMK). Road map Dit. PSMK Kemendikbud mengisyaratkan bahwa pertumbuhan
SMK sebesar 3 -4 % pertahun,
sehingga pada tahun 2014 diharapkan jumlah SMK secara nasional peningkatannnya
mencapai 67 %. Kajian ini diperlukan untuk menyelaraskan program nasional melalui Dit.PSMK Kemendikbud
dengan road map pendidikan kejuruan di Sulawesi Selatan.
Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003. Tujuan pendidikan kejuruan secara
umum adalah untuk mempersiapkan peserta didik memasuki dunia kerja dengan
dibekali kompetensi yang sesuai dengan bidangnya masing-masing. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005
juga menjelaskan bahwa pendidikan
menengah kejuruan bertujuan untuk
memasuki lapangan kerja dan mengembangkan
sikap profesionalisme serta Kebijakan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia yang dikembangkan untuk meningkatkan relevansi
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) adalah Link and Match, yaitu relevansi
dengan kebutuhan pembangunan umumnya dan kebutuhan dunia kerja, dunia usaha
serta dunia industri khususnya.
Manfaat yang dapat dipetik dari pelaksanaan Link and Match sangat besar.
Karena itu, diharapkan semua stake
holders dunia pendidikan bersedia membuka mata dan diri dan mulai
bersungguh-sungguh menjalankannya. SMK harus lapang dada menerima bidang
keahlian (kompentensi) yang dibutuhkan dunia kerja sebagai program keahlian.
Perusahaan juga harus membuka pintu selebar-lebarnya bagi yang ingin magang
(bekerja) di perusahaan tersebut. Sedangkan Pemerintah harus serius dan tidak
semata memandang program Link and Match (keterkaitan dan kesepadanan) sebagai
proyek belaka. Ada beberapa pendekatan dalam Mewujudkan Link and Match yaitu :
1.
Pendekatan Sosial
Pendekatan sosial merupakan pendekatan yang didasarkan atas keperluan
masyarakat pada saat ini. Pendekatan ini menitik beratkan pada tujuan
pendidikan dan pada pemerataan kesempatan dalam mendapatkan pendidikan (Husaini
Usman, 2006: 56). Menurut A.W. Gurugen pendekatan sosial merupakan pendekatan
tradisional bagi pembangunan pendidikan dengan menyediakan lembaga-lembaga dan
fasilitas demi memenuhi tekanan tekanan untuk memasukan sekolah serta
memungkinkan pemberian kesempatan kepada murid dan orang tua secara bebas
(Djumberansyah Indar, 1995: 30). Sebagai contoh penerapan pendekatan ini adalah
diterapkannya sistem ganda melalui kebijakan Link and Match. Selanjutnya dalam
pendekatan ini ada beberapa kelemahan dalam pendekatan ini diantaranya adalah
sebagai berikut:
a.
Pendekatan ini
mengabaikan masalah alokasi dalam skala nasional, dan secara samar tidak mempermasalahkan besarnya sumber daya
pendidikan yang dibutuhkan karena
beranggapan bahwa penggunaan sumberdaya pendidikan yang terbaik adalah untuk
segenap rakyat Indonesia.
b.
Pendekatan ini
mengabaikan kebutuhan ketenagakerjaan (man power planning) yang diperlukan dimasyarakat sehingga dapat
menghasilkan lulusan yang sebenarnya kurang dibutuhkan masyarakat.
c.
Pendekatan ini
cenderung hanya menjawab pemerataan pendidikan saja sehingga kuantitas lebih
diutamakan dari pada kualitasnya (Syaefudin
Sa’ud, 2006: 236).
2.
Pendekatan Ketenagakerjaan
Di dalam pendekatan ketenagakerjaan ini kegiatan-kegiatan pendidikan diarahkan kepada usaha untuk memenuhi kebutuhan nasional
akan tenaga kerja pada tahap permulaan pembangunan tentu saja memerlukan banyak
tenaga kerja dari segala tingkatan dan dalam berbagai jenis keahlian. Dalam keadaan ini kebanyakan negara mengharapkan supaya pendidikan
mempersiapkan dan menghasilkan tenaga kerja yang terampil untuk pembangunan,
baik dalam sektor pertanian, perdagangan, industri dan sebagainya (Jusuf Enoch,
1992: 90). Untuk itu perencana pendidikan harus mencoba membuat perkiraan
jumlah dan kualitas tenaga kerja dibutuhkan oleh setiap kegiatan pembangunan
nasional.
Dalam teorinya pendekatan
ini lebih mengutamakan keterkaitan lulusan sistem pendidikan dengan tuntutan
akan kebutuhan tenaga kerja, didalam pendekatan ini juga mempunyai kelemahan,
dimana ada tiga kelemahan yang paling utama, yaitu;
a.
Mempunyai
peranan yang terbatas dalam perencanaan pendidikan, karena pendekatan ini
mengabaikan keberadaaan sekolah umum karena hanya akan menghasilkan
pengangguran saja, pendekatan ini lebih mengutamakan sekolah menengah kejuruan
untuk memenuhi kebutuhan kerja.
b.
Menggunakan
klasifikasi rasio permintaan dan persediaan
c.
Tujuan dari
pada pendekatan ini hanyalah untuk memenuhan kebutuhan tenaga kerja, disisi
lain tuntutan dunia kerja berubah ubah sesuai dengan cepatnya perubahan zaman
(Husaini Usman, 2006: 59).
3.
Pendidikan dan Ketenagakerjaan
Apakah pendidikan formal merupakan penentu dalam menunjang pertumbuhan
ekonomi? Apakah pengembangan sumber daya
manusia selalu dilakukan melalui pendidikan formal?. Titik singgung antara
pendidikan dan pertumbuhan ekonomi adalah produktivitas kerja, dengan asumsi
bahwa semakin tinggi mutu pendidikan, semakin tinggi produktivitas kerja,
semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat.
Anggapan ini mengacu pada teori Human Capital. Teori Human Capital menerangkan bahwa pendidikan memiliki pengaruh
terhadap pertumbuhan ekonomi karena pendidikan berperan di dalam meningkatkan
produktivitas kerja.
Teori ini merasa yakin bahwa pertumbuhan suatu masyarakat harus dimulai
dari prodiktivitas individu. Jika setiap individu memiliki penghasilan yang
tinggi karena pendidikannya juga tinggi, pertumbuhan msyarakat dapat ditunjang
karenanya. Teori Human Capital ini menganggap bahwa pendidikan formal sebagai
suatu investasi, baik individu maupun
bagi masyarakat. Dari teori ini timbul beberapa model untuk mengukur
keberhasilan pendidikan bagi pertumbuhan ekonomi, misalnya dengan menggunakan
teknik cost benefit analysis, model
pendidikan tenaga kerja dan lain sebagainya.
Pendidikan formal hanya dianggap sebagai alat untuk mempertahankan status quo dari para pemenang status sosial
yang lebih tinggi. Menurut teori
ini perolehan pendidikan formal tidak lebih dari suatu lambang status (misalnya
melalui perolehan ”ijazah” bukan karena produktivitas) yang mempengaruhi
tingginya penghasilan.
Dua teori yang dikemukan diatas, masing-masing memiliki kaitan erat dengan
fungsi sistem pendidikan yang diungkap oleh Sayuti Hasibuan. Menurutnya, fungsi
sistem pendidikan dalam kaitannya dengan ketenagakerjaan meliputi dua dimensi
penting, yaitu: 1) dimensi
kuantitatif yang meliputi fungsi sistem pendidikan dalam pemasok tenaga kerja
terdidik dan terampil sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja yang tersedia, 2) dimensi kualitatif yang menyangkut fungsinya sebagai penghasil tenaga
terdidik dan terlatih yang akan menjadi sumber penggerak pembangunan atau
sebagai driving force (Sayuti
Hasibuan, 1987). .
Angka partisipasi dan bertambahnya lulusan Sekolah menengah kejuruan
(SMK) belum dengan sendirinya
meningkatkan produktivitas kerja dengan melihat adanya tamatan SMK yang
menganggur semakin meningkat.
Data pendidikan nasional kita menunjukkan kecenderungan sebagai berikut: 1) semakin tinggi jenjang pendidikan semakin besar kemungkinan terjadinya
pengangguran, 2) pada tingkat
pendidikan SLTP kebawah cenderung terdapat kekurangan tenaga kerja terdidik, 3) tamatan SMK/SMA cenderung untuk
menganggur dan jumlahnya semakin besar, 4) surplus lulusan Perguruan Tinggi cenderung berlipat ganda dari tahun ke
tahun.
Secara umum komposisi angkatan kerja menurut tingkat
pendidikan selama tahun 2008-2010 masih didominasi oleh mereka yang
berpendidikan SD meskipun menunjukkan tren yang terus menurun, yakni sebesar
52,35 persen pada tahun 2008, 51,04 persen pada tahun 2009, dan 49,52 persen
pada tahun 2010. Sejalan dengan tingkat pendidikan SD, penurunan juga terjadi
pada tingkat pendidikan SMTP. Pada tahun 2008 angkatan kerja dengan tingkat pendidikan ini sebesar 19,34 persen.
Persentase ini terus menurun pada tahun 2009
dan 2010 yang masing-masing mencapai 19,25
persen dan 18,93 persen.
Komposisi angkatan kerja terkecil berada pada
tingkat pendidikan diploma meskipun menunjukkan
tren yang fluktuatif. Pada tahun
2008, angkatan kerja berpendidikan diploma
sebesar 2,85 persen. Angka ini menurun pada
tahun 2009 menjadi 2,78 persen, namun meningkat pada tahun 2010 menjadi 2,95 persen. Sebaliknya, angkatan kerja yang memiliki tingkat pendidikan
SMK/SMA Umum dan Kejuruan serta Universitas
memperlihatkan tren yang terus meningkat. Pada
tahun 2008 angkatan kerja berpendidikan SMTA
Umum sebesar 14,45 persen dan terus meningkat
di tahun 2009 dan 2010 menjadi 15,18 persen dan 15,29 persen. Begitu pula halnya dengan SMTA Kejuruan. Pada tahun
2008 sebesar 7,06 persen, tahun 2009 sebesar
7,50 persen, dan tahun 2010 sebesar 8,35
persen. Selain itu, angkatan kerja berpendidikan Universitas juga meningkat. Dari sekitar 3,94 persen pada tahun 2008, menjadi 4,26 persen dan 4,96 persen pada tahun 2009
dan 2010.
Sejalan dengan diterapkan sistem pendidikan
melalui program pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun serta semakin mudahnya
akses pendidikan, maka jumlah angkatan kerja berpendidikan SD dan SMTP dari
tahun ke tahun diprediksikan akan terus menurun. Sebaliknya angkatan kerja
berpendidikan SMK/SMA ke atas diharapkan akan terus mengalami peningkatan, sehingga
struktur angkatan kerja beberapa tahun ke depan diperkirakan akan mengalami
perubahan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Grafik 1. Proporsi
Angkatan Kerja Menurut
Tingkat Pendidikan
2008-2010 (%)
BAB
II
KONDISI RIIL PENYELENGGARAAN PTK
Sumber. Sakernas, BPS (2010)
BAB II
KONDISI RIIL PENYELENGGARAAN PTK
TENTANG KETENAGAKERJAAN
Kondisi riil penyelenggaraan Pendidikan Teknologi Kejuruan (PTK) bidang keahlian di SMK untuk memenuhikebutuhan industri akan tenaga kerja di
suatu daerah provinsi atau kabupaten/kota khususnya Provinsi Sulawesi
Selatan memperoleh
gambaran penyerapan tenaga kerja lulusan SMK untuk industri dapat diidentifikasi spektrum pasar kerja sebagai rujukan dalam penetapan
program keahlian di SMK. Bagi pemerintah
pusat atau depdiknas adalah
kebijakan pendidikan yang berkaitan dengan pengembangan jumlah SMK dan bidang keahlian yang diperlukan untuk menyongsong
akan kebutuhan tenaga kerja yang akan datang mampu memberikan gambaran tentang
identifikasi lapangan kerja, jumlah tenaga kerja, bidang keahlian yang perlu disiapkan, kualifikasi tenaga kerja
oleh pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota di
seluruh Indonesia.
Sekolah
kejuruan di Sulawesi Selatan
juga tidak terlepas dari berbagai macam permasalahan. Permasalahan ini timbul diakibatkan oleh tidak
sinkronnya antara harapan dan
kenyataan, terjadi gabungan antara
existing condition dengan expected condition. Data statistik, menunjukkan banyak siswa sekolah menengah kejuruan (SMK) pada tahun 2006 dan 2007 sebesar 63.165 orang dan menjadi 68.756 dan78.168 pada tahun setelahnya. Tentunya alumni sebanyak ini harapannya akan terserap di dunia kerja. Akan tetapi menurut data secara nasional, (Kohort siswa SMK 2010-2014, DIT.PSMK) menunjukkan bahwa serapan tenaga yang berasal dari sekolah kejuruan hanya 50% pada tahun 2010, meskipun pada tahun-tahun berikutnya diharapkan
meningkat. Kondisi serapan tenaga kerja oleh industri di Sulawesi Selatan tidak jauh berbeda dengan kondisi rata-rata nasional, bahkan kemungkinan di bawahnya. Hal ini berarti bahwa hampir setengah dari lulusan sekolah kejuruan tidak mendapat kerja. Walaupun ada yang lanjut studi, akan tetapi jumlah ini tidak signifikan jumlahnya.
Ketimpangan antara
jumlah tenaga kerja dan lulusan pendidikan
kejuruan di Sulawesi Selatan juga
dapat dilihat pada data BPS (2010).
Jumlah tenaga kerja yang terserap pada
industri pada tahun 2006 sebesar
40.775 orang dan hanya meningkat
sedikit pada tahun berikutnya yaitu
46.069 orang, tetapi turun pada tahun
2008 menjadi 44.440 orang. Dari data
ini, beberapa asumsi yang dapat ditarik
antara lain; (1) data BPS tersebut tidak merinci tingkat pendidikan tenaga
kerja tersebut. Jika diasumsikan bahwa tingkat pendidikan tenaga kerja tersebut
berasal perguruan tinggi, diploma, SMK dan
SMA, maka dapat dipastikan bahwa tenaga
kerja yang berasal dari pendidikan kejuruan
kurang dari jumlah tersebut.
Secara umum kompetensi
yang dimiliki SMK sudah sesuai dengan kompetensi yang diharapkan dunia kerja. Adanya kesenjangan kompetensi yang dimiliki lulusan SMK dengan yang dibutuhkan Dunia Usaha/Dunia
Industri dapat diatasi dengan berbagai
upaya misalnya industri
memberikan kontribusi riil
bagi pengembangan SMK melalui
pemberian kesempatan magang/PKL;
sharing fasilitas; sharing pendanaan. Contoh
1.
Lulusan
SMK bidang keahlian Pertanian memberikan sumbangan cukup signifikan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB),
terdapat indikasi bahwa setiap
penambahan jumlah siswa SMK total sebesar 1 persen akan meningkatkan PDRB sebesar 0,45 persen.
2.
Lulusan SMK
bidang keahlian Teknologi
memberikan sumbangan cukup signifikan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), terdapat
indikasi bahwa setiap
penambahan jumlah siswa SMK total sebesar 1
persen akan meningkatkan
PDRB sebesar 0,058 persen.
Masih terdapat penambahan Program Keahlian yang dibutuhkan masyarakat industri baik industri pengolahan atau
lainnya yaitu program keahlian peningkatan daya listrik kapasitas medium teknik sensor berbagai bidang industri, teknik
telemetri
untuk menjembatani tidak
adanya sumber
daya permanen dan kemudahan pantauan, bodi otomotif, tebu rakyat, tebu industri, budidaya
ikan, bawal reklamasi, bekas lahan tambang di SMK masih relevan dibina dan dikembangan. Jika dikaji lebih lanjut maka permasalahan pendidikan kejuruan digambarkan sebagai berikut:
1.
Relevansi
Relevansi
adalah sinkronisasi atau kecocokan
antara kempetensi yang dibutuhkan
oleh dunia kerja dengan kompetensi
yang dihasilkan oleh dunia pendidikan
baik dari segi bidang studi maupun
kurikulum yang diterapkan. Data Dit. PSMK menunjukkan jumlah siswa SMK pada tahun 2006/2007, 2007/2008, dan 2008/2009 berturut-turut sebesar 63.165
orang, 68.756 orang, dan 78.168 orang.
Meskipun data tersebut tidak merinci
jenis SMK tersebut (teknologi atau bisnis)
dan bidang keahlian, hampir bisa dipastikan
bahwa yang banyak adalah bidang studi
klasik, BELMO (Bangunan, Elektronika, Listrik, Mesin dan Otomotif), meskipun saat ini telah berkembang pesat program Teknologi Informasi dan Komunikasi. Adapun bidang studi lain relative tidak terlalu banyak. Jika tidak ada inovasi, maka bidang studi ini akan mengalami kejenuhan.
Selain
itu, jenis industri yang tingkat penyerapan tenaga kerja paling banyak adalah jenis industri makanan dan minuman, yaitu sebanyak 21.992 orang pada tahun 2007, menyusul industri furniture dan industri pengolahan lainnya sebanyak 1.187 orang, industri barang galian bukan logam sebesar 9.708 orang, dan industri kayu, barang barang dari kayu (bukan meubel) sebesar 8.023 orang. Sedangkan industri-industri lainnya serapan tenaga kerjanya di bawah 1000 orang. Jika melihat dari sisi penyerapan dunia kerja nampak jelas bahwa program studi yang dikembangkan pada sekolah kejuruan belum mendukung arah berkembangnya industri. Seharusnya pengembangan sekolah kejuruan juga diarahkan pada sektor dimana industri tersebut berkembang pesat. Jika dianalisis lebih jauh, industri/perusahaan yang berkembang di Sulawesi Selatan lebih banyak
pada industri pengolahan hasil bumi/sumber
daya alam, belum beranjak pada
industri teknologi tinggi (data BPS, 2010). Industri teknologi tinggi seperti dalam daftar klasifikasi industri belum tersentuh oleh data BPS dan penyerapan tenaga kerja pada sektor tersebut
tidak banyak.
Sedangkan
pengembangan sekolah kejuruan justru lebih mengarah pada program studi teknologi tinggi. Para pendiri SMK lebih cenderung mengembangan program studi yang sudah dikenal di masyarakat dibandingkan mengembangkan sekolah kejuruan yang dibutuhkan oleh industri lokal. Nampak jelas bahwa pendirian sekolah kejuruan tidak melalui analisis pasar yang memadai.
2.
Distribusi
Keberadaan sekolah kejuruan masih
terkonsentrasi pada kota-kota besar. Jika dilihat dari skala nasional maka konsentrasi sekolah kejuruan masih tertinggi di Pulau Jawa dan skala Provinsi Sulawesi Selatan masih
didominasi oleh Kota
Makassar (data, BPS 2010) sebanyak 81 SMK, menyusul kabupaten Toraja Utara sebanyak 20 dan Kabupaten Tana
Toraja sebanyak 18 SMK. Sedangkan daerah lainnya pada umumnya hanya di bawah 10 SMK, bahkan Kabupaten Luwu Timur hanya 2
buah SMK padahal kabupaten ini termasuk
kabupaten pemekaran yang berlembang
pesat karena ditunjang oleh Pendapatan
Asli Daerah (PAD) yang memadai.
Jumlah perusahaan yang terdata oleh BPS di kabupaten/kota (kecuali Kota Makassar), yang terbanyak adalah di Kabupaten Wajo dengan 10.494 perusahaan, kabupaten Selayar sebanyak 7.091 perusahaan, kabupaten Bantaeng, Gowa dan Sidrap sekitar 3.000 perusahaan. Hal ini jelas tidak sesuai dengan jumlah SMK yang ada kabupaten tersebut. Sebagai contoh, kabupaten Wajo hanya memiliki 7 buah sekolah SMK dengan jumlah siswa hanya 1.781 orang. Kabupaten Selayar hanya memiliki 4 SMK dengan jumlah siswa 1.131. Padahal kedua kabupaten tersebut menempati peringkat atas
banyaknya perusahaan yang beroperasi.
3.
Kualitas
Kualitas alumni sekolah kejuruan diukur dengan
beberapa indikator, antara lain: beberapa lama mereka menunggu untuk
mendapatkan pekerjaan pertama dan atau pekerjaan relevan, seberapa tinggi
penghargaan yang diberikan oleh pengguna dalam bentuk gaji pertama dan
sebagainya. Kualitas alumni pastinya dipengaruhi oleh berbagai macam faktor
mulai dari kualitas input (siswa yang diterima), tenaga pengajar, proses
pembelajaran dan proses asimilasi dengan pihak industri (praktek kerja industri)
Peningkatan kompetensi profesional tenaga pengajar
seharusnya juga menjadi hal yang penting. Secara berkala seharusnya dilakukan
pelatihan-pelatihan workshop-workshop yang bertujuan untuk meng-update pengetahuan para tenaga pengajar
agar mampu memberi pengetahuan terkini pada anak didik.
4.
Kuantitas
Kelihatanya dari segi kuantitas terlihat bahwa
jumlah sekolah kejuruan sangat memadai dalam menyediakan tenaga kerja. Akan
tetapi program studi/kompetensi yang diharapkan menopang perkembangan industri didaerah
Sulawesi Selatan masih rendah. Sesuai dengan data BPS (2010) terlihat bahwa kebutuhan
akan tenaga kerja masih sangat banyak. Ditambah lagi jika diasumsikan bahwa
pertumbuhan industri pada masa masa akan datang makin pesat. Banyak jenis industri
yang belum terdata oleh BPS
yang
kemungkinan besar akan berkembang di Sulawesi Selatan seiring dengan
perkembangan kebutuhan masyarakat. Tentunya hal ini akan membutuhkan tenaga
kerja yang banyak. Seperti diketahui bahwa pendidikan kejuruan merupakan
institusi utama penyedia tenaga kerja yang handal.
Tuntutan pengelolaan pada pendidikan kejuruan harus
sesuai dengan kebijakan link and match, yaitu perubahan dari pola lama yang
cenderung berbentuk pendidikan demi pendidikan ke suatu yang lebih terang,
jelas dan konkrit menjadi pendidikan kejuruan sebagai program pengembangan
sumber daya manusia. Dimensi pembaharuan yang diturunkan dari kebijakan link
and match, yaitu perubahan dari pendekatan Supply
Driven ke Demand Driven. Dengan deman driven ini mengharapkan dunia
usaha dan dunia industri atau dunia kerja lebih berperan di dalam menentukan,
mendorong dan menggerakkan pendidikan kejuruan, karena mereka adalah pihak yang
lebih berkepentingan dari sudut kebutuhan tenaga kerja. Dalam pelaksanaannya,
dunia kerja ikut berperan serta karena proses pendidikan itu sendiri lebih
dominan dalam menentukan kualitas tamatannya, serta dalam evaluasi hasil
pendidikan itupun dunia kerja ikut menentukan supaya hasil pendidikan kejuruan
itu terjamin dan terukur dengan ukuran dunia kerja.
BAB III
PROYEKSI KEBUTUHAN PTK DI PROVINSI SUL SEL
A.
Proyeksi kebutuhan
sekolah, siswa dan guru PTK dan
eksistensi SMK di Provinsi Sulawesi Selatan hingga tahun 2016.
Salah satu rencana strategis Departemen Pendidikan Nasional
adalah perluasan dan pemerataan akses pendidikan, khususnya perluasan Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) untuk mencapai komposisi ideal jumlah SMK dengan SMA
sebanyak 70:30 persen.
Kebijakan Depdiknas untuk memperbanyak SMK sebagaimana
tertuang dalam Rencana Strategis Depdiknas tahun 2005-2009 tersebut, menurut
Sutrisno (2008) sangat strategis dan tepat karena beberapa alasan berikut. Pertama
komposisi tenaga kerja Indonesia mayoritas unskilled
workers (pekerja yang tidak punya keterampilan atau kompetensi di
bidangnya). Menurut data Badan Statistik Nasional (BPS) tahun 2010 terdapat
81,1 juta tenaga kerja Indonesia diisi kelompok unskilled workers ini yang mayoritas lulusan SMA. Sedangkan
kelompok di atasnya diisi skill workers (pekerja
dengan skill sebesar 20,4 juta) serta komposisi teratas merupakan pekerja expert (ahli) dengan 4,8 juta
orang). Ditengarai lulusan SMA selama ini banyak yang mencari pekerjaan, karena
hanya 30 persen saja yang mampu melanjutkan studi di perguruan tinggi,
sementara yang 70 persen harus bekerja meskipun tanpa bekal keterampilan
memadai. Lulusan SMA sebetulnya memang diproyeksikan untuk melanjutkan ke
jenjang pendidikan tinggi. Kedua, SMK mampu menyiapkan peserta didik yang
kreatif, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memiliki kompetensi
yang sesuai dengan tuntutan dunia kerja. Ketiga, survey menunjukkan bahwa di
kota-kota yang memiliki populasi SMK lebih tinggi dari SMA, daerah tersebut
memiliki pertumbuhan ekonomi dan produk domestik regional bruto yang lebih
tinggi.
Begitu besar harapan pemerintah terhadap SMK untuk dapat
menanggulangi pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun di sisi
lain kinerja SMK yang telah ada dewasa ini masih belum optimal. Belum
optimalnya kinerja SMK ini menurut Suyanto (2007) ditandai oleh pencapaian
indikator keberhasilan pendidikan di SMK yang belum optimal. Indikator-indikator
keberhasilan yang dimaksud adalah sebagai berikut.
1.
Terserapnya
tamatan di dunia kerja sesuai dengan kompetensi pada program keahliannya.
2.
Mampu
mengembangkan diri dalam berwirausaha sehingga dapat menciptakan lapangan kerja
baru.
3.
Mampu
bersaing dalam melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Terkait dengan daya serap lulusan SMK oleh dunia usaha dan
dunia industri, secara nasional menurut Samsudi (2008) pada tahun 2008 lulusan
SMK yang bisa langsung memasuki dunia kerja sekitar 80-85 %, sedangkan selama ini yang terserap
baru 61 %.
Belum optimalnya kinerja SMK tentu tidak dapat dibiarkan,
dan perlu dicarikan solusinya. Sebab kondisi ini akan mengakibatkan lulusan
yang kurang mampu menghadapi tuntutan zaman yang sering disoroti oleh
masyarakat pemakai lulusan tersebut. Perkembangan ilmu dan teknologi yang
sangat cepat akan membuat keadaan ini lebih parah jika tidak diantisipasi
dengan cepat dan tepat, karena akan memperlebar jurang pemisah antara yang
seharusnya diketahui dan yang diketahuinya. Implikasinya akan terjadi kesenjangan
antara supply dan demand tenaga kerja yang memberi dampak pada pengangguran.
Pentingnya upaya peningkatan mutu kinerja Sekolah Menengah
Kejuruan tidak terlepas dari fungsi dan kedudukannya yang strategis.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam
penjelasan pasal 15 menyebutkan bahwa pendidikan kejuruan merupakan pendidikan
yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang
tertentu. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan
Menengah, Pasal 1 ayat 3 menyebutkan pendidikan kejuruan adalah pendidikan pada
jenjang menengah yang mengutamakan pengembangan kemampuan siswa untuk
melaksanakan jenis pekerjaan tertentu. Snedden (dalam Fakhri, 2007) menjelaskan
pendidikan kejuruan adalah pendidikan yang diarahkan untuk mempelajari bidang
khusus, agar para lulusan memiliki keahlian tertentu seperti bisnis, pabrikasi,
pertanian, kerumahtanggaan, otomotif telekomunikasi, listrik, bangunan dan
sebagainya.
Sekolah Menengah Kejuruan, tulis Sutrisno (dalam Wibowo,
2009), mampu menyiapkan peserta didik yang kreatif, menguasai ilmu pengetahuan
dan teknologi, serta memiliki kompetensi yang sesuai dengan tuntutan dunia
kerja. Pendek kata, SMK tidak hanya membentuk kemampuan kognitif, lebih dari
itu membentuk mentalitas peserta didik yang terintegralisasikan dengan baik
kemampuan praktis, teoritis, maupun kompilasi keduanya. Dengan demikian Sekolah
Menengah Kejuruan dapat menjembatani problematika dunia kerja tingkat menengah
di Indonesia.
Tabel
2.1 Hasil Pendataan SMK tahun 2013
NO
|
PROVINSI
|
JML SMK
|
DATA MASUK
|
%
|
17
|
SULAWESI UTARA
|
97
|
86
|
88.66%
|
18
|
SULAWESI TENGAH
|
88
|
76
|
86.36%
|
19
|
SULAWESI SELATAN
|
388
|
388
|
100.00%
|
20
|
SULAWESI TENGGARA
|
71
|
71
|
100.00%
|
21
|
SULAWESI BARAT
|
91
|
91
|
100.00%
|
Tabel 2.2 Kebutuhan Sekolah, Siswa dan Guru
PTK di Sulawesi Selatan
No
|
Aspek
|
Tahun
Kondisi
2010
|
Tahun Proyeksi
|
|||||
2011
|
2012
|
2013
|
2014
|
2015
|
2016
|
|||
1
2
3
|
Sekolah
Guru
Murid
|
297
7655
80250
|
312
8038
84263
|
328
8440
88476
|
344
8862
92900
|
361
9305
97545
|
379
97710
102422
|
398
10259
107543
|
Proyek
kebutuhan sekolah, siswa dan tenaga pengajar dapat dilihat dari dua sudut
pandang; (1) sudut pandang kebutuhan berdasarkan perkembangan industri dan, (2)
sudut pandang pemenuhan Road Map Dit.PSMK yang pada tahun 2016 menargetkan persentase antara SMK dan SMU
adalah 67 berbanding 33. Road Map Dit. PSMK Road map Dit.PSMK mengisyaratkan perkembangan sekolah kejuruan
(SMK) sebesar 3 - 4 % pertahun sehingga pada tahun 2016 nanti akan mencapai 67%. Jika dari segi
jumlah maka pertumbuhan SMK pertahun diprogramkan sebanyak 300-400 sekolah pertahun.
Begitu pula dengan siswa dan guru. Setiap tahun di program adanya penambahan
sekitar 500.000 sampai 600.000 orang siswa dan penambahan sekitar 20.000 guru
SMK.
Tabel 2.3 Banyaknya Sekolah, Guru, dan Murid Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) Menurut Kabupaten/Kota
di Sulawesi Selatan Tahun 2009/2010
Kabupaten/Kota
|
Sekolah
|
Guru
|
Murid
|
KepulauanSelayar
Bulukumba
Bantaeng
Jeneponto
Takalar
Gowa
Sinjai
Maros
Pangkep
Barru
Bone
Soppeng
Wajo
Sidrap
Pinrang
Enrekang
Luwu
TanaToraja
Luwu Utara
LuwuTimur
Toraja Utara
Makassar
Pare-Pare
Palopo
|
4
12
7
9
7
13
4
10
9
4
6
8
8
7
11
6
11
18
4
2
22
85
13
17
|
89
367
204
253
245
396
155
230
265
128
165
298
243
418
340
285
115
457
188
57
167
1486
501
703
|
1131
5435
2268
1705
2260
3678
1686
2378
1851
834
1706
2927
2034
2874
5271
1542
1099
5069
2662
900
7144
13947
3858
5991
|
Sulawesi Selatan
2009/2010
2008/2009
2007/2008
|
297
282
233
|
7655
7663
6568
|
80250
78168
68759
|
B. Asumsi Pertumbuhan PTK
Data dari BPS Sulawesi
Selatan tentang banyaknya sekolah, guru, dan murid sekolah menengah kejuruan (SMK) menurut kabupaten/kota di sulawesi
selatan tahun 2009/2010 dan estimasi pertumbuhan sebesar 5 % pertahun maka
estimasi banyaknya sekolah, guru, dan murid sekolah menengah kejuruan (smk)
menurut kabupaten/kota di sulawesi selatan tahun 2009/2010 adalah sebagai
berikut :
1.
Sekolah
Tahun
2011 à
297 x 5 % = 14,85à 297 + 14,85 = 312 (pembulatan)
Tahun
2012 à
312 x 5 % = 15,69à 312 + 15,69 = 328 (pembulatan)
Tahun
2013 à
328 x 5 % = 16,40à 328 + 16,40 = 344
Tahun
2014à
344 x 5 % = 17,20à 344 + 17,20 = 361
Tahun
2015à 361 x 5 % = 18,05à 361
+ 18,05
= 379
Tahun
2016à 379 x 5 % = 18,95à 379
+ 18,95
= 398
2.
Guru
Tahun
2011 à
7655 x 5 % = 382,7à7655 + 382,7 = 8038 (pembulatan)
Tahun
2012 à8038
x 5 % = 401,9à8038
+ 401,9 = 8440 (pembulatan)
Tahun
2013 à8440
x 5 % = 422 à8440
+ 422 = 8862
Tahun
2014à8862
x 5 % = 443,1à8862
+ 443,1 = 9305
Tahun
2015 à 9305 x 5 % = 465,3à9305
+ 465,3
= 9770
Tahun
2016 à 9770 x 5 % = 488,5à9770
+ 488,5
= 10259
3.
Murid
Tahun
2011 à
80250 x 5 % = 4012,5à 80250 + 4012,5 = 84263 (pembulatan)
Tahun
2012 à
84263 x 5 % = 4213,15à 84263 + 4213,15 = 88476 (pembulatan)
Tahun
2013 à
88476 x 5 % = 4423,8à 88476
+4423,8 = 92900
Tahun
2014à92900x
5 % = 4645 à92900
+ 4645 = 97545
Tahun
2015 à97545x 5 % = 4877,3à97545+
4877,3 = 102422
Tahun
2016 à 102422 x 5 % = 5121,1à 102422+
4645 = 107543
BAB IV
ANALISIS KESENJANGAN LAPANGAN KERJA
DENGAN
JUMLAH LULUSAN SMK DI KABUPATEN BONE
A.
Jumlah Lulusan SMK Kab. Bone Tahun 2012 dan 2013
Lembaga
pendidikan SMK dipersiapkan untuk mengantisipasi kebutuhan tenaga
pelaksana di industri, secara khusus
sebagai tenaga terampil yang siap menerima instruksi untuk melakukan pekerjaan
secara langsung. Tamatan SMK saat ini
adalah mereka yang masih butuh dilatih agar bisa bekerja secara terampil.
Keahlian tidak bisa didapat dengan hanya membaca dan menghafal tetapi harus
dengan mengerjakan dan merasakan sendiri langsung pada objek. Dengan cara itu
calon tenaga kerja bisa menguasai cara mengatasi permasalahan dalam dunia kerja
walaupun suatu masalah yang sama penyebabnya bisa berbeda.
Tenaga kerja dapat di identifikasi dalam penetapan program keahlian di SMK
memiliki beberapa tujuan : (1) Memperoleh gambaran nyata tentang kompetensi lulusan
SMK di suatu daerah provinsi atau kabupaten/kota, (2) Memperoleh gambaran yang riil bidang keahlian
di SMK untuk memenuhi kebutuhan industri akan tenaga kerja di suatu daerah provinsi atau kabupaten/kota, (3) Memperoleh gambaran
penyerapan tenaga kerja lulusan SMK untuk industri.
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Kabupaten Bone sementara baru mulai
berkembang jika di bandingkan dengan SMA/MA yang sudah sangat banyak. Lambatnya
pemerintah daerah terutama Dinas Pendidikan
memfasilitasi adanya SMK di kalangan masyarakat. Sehingga dapat kita lihat jumlah penduduk
pencari kerja tamatan SMK yang terdaftar di Depnaker dari tahun
ke tahun mengalami penurunan 1,64 % tahun 2012 sedangkan tahun 2013 sebanyak
0,77 %. Ini sangat jauh dari harapan dan tujuan SMK yang nantinya
siap bekerja di mana saja atau dapat
menciptakan lapangan pekerjaan.
Tabel 4.1.
Persentase jumlah penduduk pencari kerja
menurut pendidikan tertinggi tahun 2012
No
|
Pendidikan
tertinggi
|
Jenis Kelamin
|
Jumlah
|
|
Laki-Laki
|
Perempuan
|
|||
1.
|
SD/MI
|
35,66
|
32,21
|
34,34
|
2.
|
SLTP/MTs
|
12,54
|
10,61
|
11,50
|
3.
|
SMU/MA
|
9,20
|
8,63
|
8,89
|
4.
|
SMK
|
1,76
|
1,54
|
1,64
|
5.
|
DIPLOMA I/II
|
0,72
|
0,73
|
0,72
|
6.
|
AKADEMI/III
|
0,45
|
1,14
|
0,82
|
7.
|
DIPLOMA IV/S1/22/23
|
3,00
|
4,09
|
3,59
|
Tabel 4.2.
Persentase jumlah penduduk pencari kerja
menurut pendidikan tertinggi tahun 2013
No
|
Pendidikan
tertinggi
|
Jenis Kelamin
|
Jumlah
|
|
Laki-Laki
|
Perempuan
|
|||
1.
|
SD/MI
|
35,39
|
38,16
|
36,84
|
2.
|
SLTP/MTs
|
16,70
|
16,72
|
16,71
|
3.
|
SMU/MA
|
14,83
|
11,14
|
12,89
|
4.
|
SMK
|
0,81
|
0,74
|
0,77
|
5.
|
DIPLOMA I/II
|
0,33
|
0,88
|
0,62
|
6.
|
AKADEMI/III
|
0,50
|
0,77
|
0,61
|
7.
|
DIPLOMA IV/S1/22/23
|
3,81
|
4,23
|
4,03
|
Sumber :
Depnaker Kab. Bone tahun 2012 &
tahun 2013
Grafik 4.1.
Persentase jumlah penduduk pencari kerja
Menurut pendidikan tertinggi tahun 2012 dan 2013
Sumber :
Depnaker Kab. Bone tahun 2012 &
tahun 2013
B.
Analisis kesenjangan antara lapangan kerja dan jumlah lulusan SMK
Jumlah tenaga kerja di
Sulawesi Selatan mencapai 1,07 juta orang atau 88,0 persen dari total angkatan
kerja pada tahun 2009 dan mengalami
peningkatan bila dibandingkan tahun 2005
yang mencapai 71,10 persen. Proporsi
tenaga kerja adalah 47,9 persen pada sektor pertanian, 29,9
persen pada sektor perdagangan, rumah makan dan jasa akomodasi 29,91
persen, dan 12,3 persen pada sektor jasa kemasyarakatan, sosial dan
perseorangan. Tenaga kerja
tamatan sekolah menengah kejuruan merupakan tenaga kerja
yang potensial untuk pengembangan industri, karena banyak jenis pekerjaan yang
lebih sesuai dilakukan oleh tenaga kerja terutama sektor pertanian.
Berdasarkan tabel dan grafik di atas
bahwa tamatan SMA (17,89%) pada data Depnaker di Kabupaten Bone lebih
besar dibandingkan dengan
SMK (0,77%) pada tahun 2013, Dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Kondisi ini
sangat memprihatinkan, Ditengarai lulusan SMA menjadi tenaga kerja walaupun
skill yang didapat berbeda dengan jurusan SMK
sehingga sebagian rencana strategis Departemen Pendidikan Nasional
adalah perluasan dan pemerataan akses pendidikan. Khususnya perluasan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) untuk
mencapai komposisi ideal jumlah SMK dengan SMA sebanyak 70:30 persen.
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan permasalahan implementasi Pendidikan Teknologi Kejuruan
(PTK) dan ketenagakerjaan Provinsi Sulawesi Selatan diatas maka dapat disimpulkan dari hasil pembahasan ini, adalah:
1.
Departemen
Pendidikan Nasional adalah perluasan dan pemerataan akses pendidikan. Khususnya perluasan Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) untuk mencapai komposisi ideal jumlah SMK dengan SMA sebanyak
70:30 persen. Kebijakan Depdiknas untuk
memperbanyak SMK sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategis Depdiknas tahun
2005-2009.
2.
Tamatan SMK saat ini adalah mereka yang masih butuh
dilatih agar bisa bekerja secara terampil. Keahlian tidak bisa didapat dengan
hanya membaca dan menghafal tetapi harus dengan mengerjakan dan merasakan
sendiri langsung pada objek. Dengan cara itu calon tenaga kerja bisa menguasai
cara mengatasi permasalahan dalam dunia kerja walaupun suatu masalah yang sama
penyebabnya bisa berbeda.
3.
Permasalahan
SMK tetap harus diatasi dengan
distribusi, relevansi, kualitas dan kuantitas.
4.
SMK
sebagai penyedia tenaga kerja terdidik dan terampil tidak hanya harus memenuhi
kebutuhan secara kuantitatif, yang juga penting diperhatikan adalah jenis-jenis
keahlian dan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri dan dunia usaha
yang ada di daerah.
5.
Tenaga
kerja dapat di identifikasi dalam penetapan program keahlian di SMK memiliki
beberapa tujuan : (1) Memperoleh gambaran nyata tentang kompetensi lulusan SMK
di suatu daerah propinsi atau kabupaten/kota, (2) Memperoleh gambaran yang riil
bidang keahlian di SMK untuk memenuhi kebutuhan industri akan tenaga kerja di
suatu daerah propinsi atau kabupaten/kota, (3) Memperoleh gambaran penyerapan
tenaga kerja lulusan SMK untuk industi.
6.
Konsep Link and
Match (keterkaitan dan kesepadanan) merupakan konsep keterkaitan antara lembaga
pendidikan denagn dunia kerja, atau denagn kata lain Link and Match ini adalah
keterkaitan antara pemasok tenaga kerja dengan penggunanya. Dengan adanya
keterkaitan ini maka pendidikan sebagai pemasok tenaga kerja dapat mengadakan
hubungan-hubungan dengan dunia usaha/industri.
7.
SMK
mampu menyiapkan peserta didik yang kreatif, menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta memiliki kompetensi yang sesuai dengan tuntutan dunia kerja.
DAFTAR
PUSTAKA
Dedy
Suryadi, M.Pd. 2006. FPTK UPI, Pengembangan Sistem Dan Kurikulum Pendidikan
Kejuruan, seminar nasional Peran stake holder dalam menghasilkan guru teknologi
daan kejuruan yang professional. Bandung.
Cammings, Williams. 2010. Studi Pendidikan dan Tenaga Kerja
pada Beberapa Industri Besar di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian BP3K
Enoch,
Jusuf. 1992. Dasar-Dasar Perencanaan.
Jakarta: Bumi Aksara
Hasibuan, Sayuti. 1987. Changing Manpower Requirements in The Face
of Non-Oil Growth, Labor Force Growth and Fast Tehnological Change.
Jakarta: Bappenas
Saharuddin. 2011. Jurnal Kajian Pendidikan Kejuruan di
Sulaswesi Selatan. Volume
3, Nomor 1.
Limongan,
Andreas.2008.
Masalah Pengangguran di Indonesia. Diakses
Tanggal 07 Januari 2008
Nana Syaodih
Sukmadinata. (2006). Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Pardjono. 2008. Urgensi Penerapan Konstruktivisme
dalam Pendidikan Kejuruan
Peraturan Menteri, No 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi
----------------------, No 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kelulusan
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan
Sa’ud, Udin Syaefudin dan Abin
Syamsuddin Makmun, 2006. Perencanaan
Pendidikan Suatu Pendekatan Komprehensif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Cet II
Sindhunata (ed). 2000. Menggegas Paradigma Baru Pendidikan: Demokrasi, Otonomi, Civil Society,
Globalisasi. Yogyakarta: Kanisius
Sudji Munadi (FT-UNY), transformasiteknologi Pada pendidikan kejuruan, Konvensi Nasional Ke IV
APTEKINDO pada tanggal 3 – 6 Juni 2008
Sukamto. 2001. Perubahan karakteristik dunia kerja dan revitalisasi pembelajaran dalam kurikulum pendidikan kejuruan. Jakarta: Bumi Aksara
Usman, Husaini. 2006. Manajemen: Teori,
Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen
Wardiman
Djojonegoro. 1998. Pengembangan Sumber
Daya Manusia: Melalui Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Jakarta: PT.
Jayakarta Agung.
LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2012
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 2012
TENTANG
RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN
KETRANSMIGRASIAN TAHUN 2010-2025
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a)
bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional,
kementerian/lembaga perlu menyusun dan menetapkan Rencana Pembangunan Jangka
Panjang;
b)
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
perlu menetapkan Peraturan Menteri tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian Tahun 2010-2025;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3682) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang
Ketransmigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 131,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5050);
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4358);
4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4700);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Daerah
Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4737);
6. Peraturan Presiden Nomor 47
Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;
7. Keputusan Presiden Nomor 84/P
Tahun 2009;
8. Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.12/MEN/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.07/MEN/IV/2011 tentang Organisasi Dan Tata
Kerja Unit Pelaksana Teknis Di Lingkungan Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 253) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.07/MEN/IV/2011 tentang
Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Di Lingkungan Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012
Nomor 227);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI TENTANG
RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
TAHUN 2010-2025.
Pasal1
Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian Tahun 2010-2025 yang
selanjutnya disingkat RPJP, yang penjabarannya sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Keputusan Menteri ini.
Pasal 2
RPJP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 disusun sebagai arah dan acuan bagi:
a. penyusunan Rencana Strategis
(Renstra) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
b. penyusunan rencana/program
pembangunan bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian;
c. koordinasi perencanaan bidang
ketenagakerjaan dan ketransmigrasian dengan sektor;
d.
pengendalian kegiatan
pembangunan lingkup Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Pasal3
RPJP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 dan Pasal 2 dipergunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan tugas
bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian dalam kurun waktu 2010-2025 untuk
mewujudkan cita-cita dan tujuan pembangunan bidang ketenagakerjaan dan
ketransmigrasian.
Pasal4
Peraturan Menteri ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada
tanggal 10 Juli 2012
|
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
|
Diundangkan di Jakarta pada
tanggal 12 Juli 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI
MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 706
1 komentar: